Dalam Era Globalisasi yang ditandai dengan makin maraknya arus informasi dan perkembangan Iptek yang berdampak pada kehidupan yang penuh perubahan, tantangan bukan saja berdampak positif tetapi juga banyak dampak negatif seperti korupsi, kolusi monopoli, kerusuhan dan sebagainya, maka sangat penting dalam kehidupan ini untuk dapat mengendalikan diri, sehingga luput dari keinginan, nafsu dan godaan-godaan tersebut.
Tantangan Etika Global dalam kehidupan beragama ialah melaksanakan fungsi-fungsi agama (budaya, pendidikan, filosofi, sosial/kerukunan dll) secara benar, mengembangkan keyakinan dan mensosialisasikan ajaran agama kepada pemeluknya serta mengaktualisasikan ajaran agama secara utuh baik dalam Dharma Agama dan Dhrama Negara.
Sebagai umat beragama kita seharusnya sadar, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, pluralis, baik dalam agama, suku, budaya serta tradisi. Kesadaran terhadap kemajemukan bangsa Indonesia telah menyadarkan kita, bahwa sebagai bangsa Indonesia kita harus saling menghargai, saling menghormati dengan penuh toleransi dan rukun. Kalau Bhineka Tunggal Ika yang tertulis dalam lambang negara Garuda Pancasila telah hilang, maka dapat dipastikan akan terjadi disintegrasi,
Karena itu kebhinekaan kita sebagai bangsa hendaknya disadari disamping sebagai sumber kekuatan, dapat juga menjadi sumber kelemahan bangsa, kalau kita semua kurang mencermati dan kurang mau bersikap toleransi satu dengan yang lain maka disintegrasi bangsa Indonesia akan menjadi kenyataan.
Dalam Era Orde Baru telah lahir sarana untuk membina kerukunan hidup umat beragama yang kita kenal sebagai Tri Kerukunan Hidup Umat Beragama yakni kerukunan intern umat Beragama, kerukunan antar umat Beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Dalam Etika Global pada Era Komunikasi sekarang ini, sebaiknya dalam memberikan kotbah agama, hal-hal yang dapat menganggu kerukunan dan toleransi antar umat beragama, tidak perlu dijelaskan melalui Televisi dan kalau memang harus dijelaskan, sebaiknya tidak secara terbuka, cukup dalam intern umat nya saja. Kalau hal ini dapat dilakukan, maka ketegangan antar agama di Indonesia akan dapat diatasi dengan baik.
Pembinaan secara kontinutas berbagai sarana keagamaan dengan sarana dan motivasi yang memadahi sehingga dapat membentuk manusia yang dapat mengendalikan dan mengalahkan diri sendiri, manusia yang bersih dari hati yang membenci, yang serakah, iri hati, dan bebas dari segala bentuk kebodohan dan ketidak tahuan.
Manusia yang memiliki cinta kasih dan kasih sayang (welas kasih), rasa senang dan simpati terhadap kebahagiaan dan keberhasilan orang lain dan dapat bertindak bijaksana, baik melalui pikiran, ucapan dan perbuatan badan jasmani dengan mengembangkan perasaan cinta kasih, belas kasihan, simpati dan kebijaksanaan dalam agama Buddha disebut metta, karuna, muditha dan upekkha, yang menjadi sumber kedamaian, kerukukunan, kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Cita-cita Ketuhanan didalam agama Buddha adalah untuk mencapai Brahma Vihara atau kediaman yang luhur, yang penuh dengan kebahagiaan, hidup yang bernuansakan cinta kasih, belas kasih, simpati dan kebijaksanaan, dimana sudah tidak ada perasaan membenci, serakah, iri hati dan kebodohan
Karena itu etika inter aksi kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara pada era global, umat beragama hendaknya benar-benar menerapkan ajaran cinta kasih dan kasih sayang, dan melaksanakan fungsi-fungsi agama, dalam beragama. Maka toleransi antar umat beragama akan dapat terjalin dengan baik dan ketegangan hubungan antar agama di Indonesia tidak akan pernah terjadi.
Tetapi kenyataan membuktikan bahwa diantara pimpinan, tokoh dan umat beragama di Indonesia dalam mengaktualisasikan ajaran agamanya masih terkandung didalam hatinya perasaan membenci, iri hati atas kesuksesan satu dengan yang lainnya dan tingginya rasa kecurigaan terhadap SARA lainnya.
CARA AGAMA BUDDHA MENGATASI KETEGANGAN HUBUNGAN ANTAR AGAMA
Waktu Buddha masih hidup, upaya untuk menghindari terjadinya ketegangan hubungan antar agama, dengan membina toleransi antar umat beragama di India, yakni antar agama Buddha dengan agama Hindu, benar-benar diperhatikan oleh Sang Buddha. Hal ini terbukti dengan adanya kotbah Sang Buddha dalam Upali Sutta yang isinya:
“Upali adalah seorang yang sangat terpandang dalam masyarakatnya. Ia menjadi siswa dari Nighanta, Nataputta, guru besar agama Jahina. Upali diutus oleh guru besar-Nya untuk berdialog dengan Buddha tentang hukum Karma. Setelah dialog itu selesai, Upali menyatakan dengan jujur, bahwa ajaran Buddha tentang hukum karma adalah yang benar. Upali lalu memohon kepada Buddha untuk menerimanya menjadi siswa dan penganut Buddha”.
Apakah Buddha merasa bangga dan senang, Upali yang sangat terpandang di masyarakat dan menjadi siswa utama dari Guru Besar agama Jahina itu? Sang Buddha tidak merasa bangga dengan permintaan upali. Sang Buddha meminta kepada Upali agar memikirkan maksud dan keinginannya untuk menjadi siswa penganutnya.
Buddha memberikan pengarahan kepada Upali dengan bijaksana: “Wahai Upali, anda adalah murid yang bijaksana dari seorang guru besar yang terpandang dalam masyarakat. Mengenai keinginanmu untuk menjadi penganutKu dan menjadi siswaKu, pikirlah dengan sesama, jangan terburu nafsu untuk menjadi murid dan penganutKu”.
Untuk kedua kalinya Upali memohon kepada Buddha, namun Buddha kembali menerangkan dengan bijaksana, untuk dipertimbangkan kembali dengan seksama tentang keinginan tersebut. Kemudian Upali memohon yang ketiga kalinya, akhirnya Sang Buddha berkata: ”Upali saya menerimamu sebagai siswaKu, dengan syarat kau harus tetap menghormati bekas agamamu dan mantan guru besarmu”. Demikianlah cara yang ditujukan Buddha untuk menjaga kerukunan umat beragama, agar jangan terjadi ketegangan antar agama.
Raja Asoka seorang Raja Buddis terkenal yang agung yang melaksanakan ajaran tentang toleransi dan kerukunan hidup beragama telah mencanangkan dekrit toleransi dan kerukunan hidup beragama yang terkenal dengan DEKRIT ASOKA sebagai berikut:
“Siapa yang memuji agamanya sendiri dan merendahkan agama lainnya hanya merendahkan agamanya sendiri. Kerukunan dan toleransi antar umat beragama atau kepercayaan patut dihargai. Hendaknya kita mau mendengar dan memahami ajaran yang benar dari agama lain”.
Lalu bagaimana dengan kenyataan yang kita alami dalam lintas perpindahan umat beragama, dimana banyak pemimpin agama yang berusaha untuk menarik pimpinan dan umat agama lainnya. Kenyataan yang kita lihat dalam kehidupan beragama ini kita menyadari hal tersebut dapat menimbulkan terjadinya ketegangan sektor agama.
Demikian pula untuk mengatasi dampak negatif dalam kehidupan di era globalisasi, peran agama, ilmu pengetahuan dan teknologi hendaknya menjadi kekuatan yang saling mengisi satu dengan yang lain. Artinya kemajuan ilmu pengetahuan harus diimbangi dengan peningkatan moral dan berlandaskan etika, yang sesuai dengan ajaran agama. Hal ini dikenal dengan keseimbangan iman dan takwa yang selaras dengan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi.
Agama hendaknya tidak lagi menjadi alat untuk membenarkan tindakan penguasa atau justifikasi terhadap tindakan kesewenang-wenangan, dimana membenarkan suatu produk hukum dan perundangan-undangan ataupun keputusan yang diambil pemerintah/sikap penguasa jelas-jelas diskriminasi dan melanggar HAM serta berbau SARA.
Oleh karena itu Reformasi merupakan momentum yang bermanfaat, untuk membina Manusia Indonesia Baru dengan mengedepankan pengendalian dan menundukkan diri sendiri. Dalam hal ini perubahan prilaku lama yang didasari oleh rasa saling curiga dapat diubah dengan sikap baru yang saling menghormati secara tulus dan iklas yang bersumber dari penghargaan Hak Asasi Manusia, jujur dan terbuka. Hanya dengan mendasari sikap baru maka dapat membangun masyarakat Indonesia Baru, Masyarakat madani, masyarakat yang demokratis, yang adil, mentaati hukum serta mengutamakan hak azasi manusia (HAM)
Dalam agama Buddha kata etika sering pula dijelaskan dengan kata Sila. Dan yang dimaksud dengan etika dalam bahasa Indonesia adalah kesusilaan yang berarti hal-hal yang berkenaan dengan perbuatan baik. Dalam agama Buddha sila merupakan dasar utama dalam pelaksanaan ajaran agama, mencakup semua prilaku dan sifat-sifat baik, yang termasuk ajaran moral dan etika.
Pada saat Sang Buddha akan mangkat, beliau menyampaikan pesan terakhirnya kepada muridnya Y.A Ananda “Apapun Dhamma dan Vinaya yang telah Kuajarkan dan Kunyatakan, hal ini akan menjadi guru kalian kelak”.
Sang Buddha mengajarkan Empat Kebenaran Utama (Empat Kesunyataan Mulia/The Four Fold Noble Truth) ialah :
Hidup adalah penderitaan (dukkha)
Sebab penderitaan timbul karena keinginan/tanha (Dukkha Nirodha)
Berhentinya penderitaan hanya dapat diatasi dengan memadamkan keinginan (dukkha Samudaya).
Jalan menuju berhentinya penderitaan dengan memadamkan keinginan.
Memadamkan keinginan hanya terlaksana dengan perbuatan moral serta disiplin hidup dan mencapai puncaknya pada konsentrasi dan meditasi. Untuk mengikis habis sebab penderitaan Sang Buddha memberikan cara-cara terbaik yang dinamakan “Jalan Utama Beruas Delapan“ atau “Ariya Atthangika Magga” yang merupakan Way of life seorang Buddhis, terdiri dari :
Pandangan benar (samma-ditthi)
Pikiran benar (samma-sankhapa)
Ucapan benar (samma-vacca)
Perbuatan benar (samma-kamanta)
Mata pencaharian benar (samma-ajiva)
Daya upaya benar (samma-vayama)
Perhatian benar (samma-sati)
Konsentrasi benar (samma-samadhi)
Jalan Mulia Berunsur Delapan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu :
Kebijaksanaan (Panna)
Pengertian yang benar
Artinya mengerti dan dapat menembus tentang hakekat hidup ini yang ditandai adanya Dukkha (penderitaan), Dukkha Samudaya (sebabnya penderitaan), Dukkha Nirodha (lenyapnya penderitaan) dan Magga (jalan untuk melenyapkan penderitaan). Jadi ukuran manusia bijaksana menurut agama Buddha memiliki pengertian yang benar tentang Dukkha, Sebab Dukkha, Lenyapnya Dukkha dan Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha
2.Pikiran yang benar
Artinya pikirannya penuh dengan pikiran yang tidak membenci (Dosa), pikiran yang tidak serakah (lobha) dan pikiran yang tidak bodoh (Moha)
Sila
Perkataan yang Benar
Kita dapat berkata yang benar, bilamana pikiran kita bersih dari kebencian, keserakahan dan kebodohan. Tetapi kita tidak akan dapat berkata yang benar bilamana pikiran kita penuh dengan kebencian, keserakahan dan kebodohan. Karena itu agar kita dapat berkata dan berbuat yang benar, kita harus membersihkan pikiran kita dari pikiran Lobha, Dosa dan Moha.
Yang dimaksud dengan berkata yang benar disini adalah : tidak berbohong, tidak menipu, tidak memfitnah, tidak omong kosong, tidak membicarakan kejelekan orang lain, tidak menyakiti hati orang lain dan lain-lainnya.
4. Perbuatan yang benar
Perbuatan yang benar juga bersumber pada pikiran yang positif, demikian pula halnya dengan perbuatan yang jahat bersumber pada pikiran yang negatif. Yang dimaksud dengan perbuatan yg benar adalah: tidak membunuh, tidak mencuri dan tidak berzinah.
5. Mata Pencaharian yang benar
Mata pencaharian sangat penting artinya didalam kehidupan ini dan alangkah menyedihkan, bilamana ada orang yang tidak mempunyai mata pencaharian. Tetapi kita harus berusaha untuk memiliki mata pencaharian yang benar. Mata pencaharian yang tidak benar adalah : menjual minuman keras, menjual racun, menjual senjata untuk perang, menjual budak dan segala benda yang menyebabkan ketagihan seperti : ganja, morfin, Narkoba dan lain-lainnya.
Samadhi (Meditasi)
Meditasi kami tidak babarkan. Jadi mata pencaharian yang benar adalah hidup dari mata pencaharian yang benar, dengan menghindari hidup dari mata pencaharian yang tidak halal, yang menyebabkan orang lain menderita. Misalnya menjual narkoba adalah merupakan kejahatan, karena narkoba yang diperjual belikan ini akan merusak moral masyarakat terutama kalangan remajanya.
Melalui meditasi dan cinta kasih Metta dan Karuna dapat membawa umat Buddha dalam kehidupan nyata. Dalam pandangan hidup agama Buddha dapat dikatakan bahwa keberadaan moral merupakan hal penting dalam hidup. Dan perjuangan moral sesuai dengan ajaran Buddha mengandung sifatnya yang rasional dan filosofis, dari dasar moral ajaran Buddhisme, Yang demikian diletakkan disiplin moral dan manifestasi moral sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia.
Unsur dalam disiplin moral Buddha yang meliputi Panna, Sila dan Samadhi menyangkut ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara individu, keluarga, masyarakat, seperti Vinaya Pitaka ( Untuk Bhikkhu) dan Gihi Pitaka (untuk umat awam). Dengan ajaran ini Bhikhu harus menganut dasa silanya (10 larangan) sedangkan umat awam melalui latihan kesusilaan yang disebut Pancasila Buddhis (5 larangan) yang isinya :
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pembunuhan makhluk hidup.
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan pencurian atau mengambil barang yang bukan haknya.
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan zinah
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak berdusta, berbohong, berkata kasar dan omong kosong.
Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak memakan dan meminum zat-zat atau jenis-jenis barang yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan.
Disiplin moral adalah ketentuan atau tata aturan moral yang harus dilakukan oleh siapa saja. Sementara manifestasi moral itu berkaitan dengan karma yang bersifat positif berupa perbuatan baik (kusala-karma), maupun yang bersifat negatif (akusala-karma). Dari dua komponen itulah tujuan moral digariskan untuk menuju terealisirnya kebahagiaan tertinggi atau Nibbana.
Manusia dilahirkan kedunia ini karena karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri, pendeknya apapun karma yang dilakukan, diri sendirilah yang harus menanggungnya. Kehidupan manusia menyimpan kumpulan atau warisan karma baik dan buruk yang terjadi di masa kehidupan yang lampau. Agar kehidupan sekarang berbuah karma kebajikan, maka sangat penting untuk selalu berusaha melatih diri melaksanakan sila dan melakukan kebajikan. Karena hanya dengan dengan sila dan kebajikan yang dapat merubah karma buruk dan membuahkan karma baik serta dibarengi dengan latihan yang giat, maka semua akibat karma buruk akan dapat di netralisir, sehingga tidak akan mengalami rintangan dan penderitaan.
Dengan melatih dan membina nilai-nilai positif yang dimiliki maka akan mengangkat harkat dan martabat seseorang menuju perbaikan kehidupan duniawi serta bertambahnya kebijaksanaan. Dengan demikian akan tercapailah kesadaran Dharma dan kesempurnaan hidup.
Dengan melakukan perenungan pentingnya pengendalian diri, dharma dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik pada waktu berjalan, berdiam, duduk, berbaring selagi tiada lelap, kita harus senantiasa mengembangkan sila (kemoralan), kita sebagai modal dasar dalam pergaulan hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam hal inilah peranan agama amat menentukan. Agama bila dianut dengan tepat dapat membuka pikiran dan perasaan manusia terhadap kehidupan yang dihadapi serta apa yang dilakukannya untuk menjadi mahluk yang berguna dalam alam semesta ini. Karena dalam setiap agama terdapat kebenaran-kebenaran yang hakiki dalam mengambarkan kehidupan dan alam semesta ini, sehingga agama dapat memberikan pedoman kepada umat manusia untuk dapat menjalani hidupnya dengan baik.
Disinilah letak potensi agama yang perlu diperhatikan. Yang menjadi persoalan bukan agamanya, melainkan bagaimana para tokoh dan pimpinan agama itu membawa dan menginterprestasi agamanya untuk berfungsi positif dalam menyajikan pedoman pada manusia dalam menghadapi inter aksi dalam kehidupannya. Itu jelas sekali dibuktikan oleh sejarah umat manusia.
Dalam Vyagghapajja Sutta, Sang Buddha menjelaskan ada empat kondisi yang membawa kesejahteraan dan kebahagiaan dalam hidup yang akan datang.
Bersemangat dan cermat dalam tugasnya, bijaksana mengatur kekayaannya.
Hidup sesuai dengan penghasilan, memelihara apa yang telah diperolehnya
Diberkahi dengan keyakinan dan kesusilaan, murah hati dan bebas dari kekikiran.
Selalu mengembangkan Magga.
Sabda Sang Buddha yang berguna untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang dirangkum sebagai berikut:
UTTHANA-SAMPADA, Seseorang hendaknya ahli, efisien, tekun dan giat dalam setiap pekerjaan dan mengerti pekerjaan yang dilakukannya dengan baik.
ARAKKHA-SAMPADA, Ia pandai melindungi penghasilan yang diperolehnya dari pekerjaan yang halal dan mencucurkan keringat, bahkan memperlipat gandakannya.
KALYANA-MITTA, mencari pergaulan yang baik, yang setia kepadanya, terpelajar, baik budi, tidak kikir dan cerdas, yang akan membantunya dengan cara yang benar, jauh dari kejahatan.
SAMAJIVIKATA, Ia hidup dalam batas-batas kemampuannya, sesuai dengan penghasilannya serta tidak boros.
SADDHA, Ia mempunyai kepercayaan dan keyakinan yang kuat terhadap nilai-nilai moral, spiritual dan intelektual.
SILA, Ia menjauhkan diri dari pembunuhan, penipuan, pencurian, hubungan sex yang tidak dibenarkan, ucapan yang tidak benar dan menghindar dari minum-minuman keras.
CAGA, Ia suka menolong orang lain, baik hati dan sederhana hidupnya.
PANNA, Ia melatih diri dan mengembangkan pandangan-terang yang akan membawanya ke keselamatan dan kebahagiaan yang kekal yaitu Nibbana.
Dari Vyaghapajja Sutta terlihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi diperlukan untuk mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi ini, tetapi Beliau tidak memandang kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebendaan dengan mengabaikan dasar moral dan spiritual
Sang Buddha juga membahas hingga yang sekecil-kecilnya, tentang bagaimana orang harus menyimpan dan mengeluarkan uang. Misalnya pernah Beliau memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari. Setengah bagian dimasukan kedalam perusahaannya dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga.
Sabda Sang Buddha kepada Anathapindika. seorang bangkir kaya, murid yang sangat berbakti, yang telah mendirikan vihara Jetavana yang megah di kota Savatthi. Dalam kehidupan berkeluarga seorang hendaknya mempunyai empat macam kebahagiaan :
Atthi-sukha
Ia bahagia karena terjamin keadaan ekonominya atau harta benda yang cukup yang didapat dari usaha/pekerjaan yang halal.
Bhoga-Sukha
Ia dapat menggunakan kekayaannya dengan tidak usah terlalu kikir untuk keperluan diri sendiri, keluarganya, sahabat-sahabatnya dan untuk keperluan sosial.
Anana-Sukha
Ia terbebas dari hutang.
Anavajja-sukha
Ia dapat hidup secara bersih dan tidak ternoda, tanpa melakukan sesuatu yang tidak benar, dalam pikiran, perkataan dan perbuatan
Harap diperhatikan bahwa tiga diantaranya bersifat ekonomis dan akhirnya Sang Buddha memperingatkan bankir tersebut bahwa kebahagiaan ekonomi dan materil tidaklah merupakan 1/16 bagian dari kebahagiaan spritiual yang didapat dengan hidup secara bersih dan tidak ternoda.
Dari beberapa contoh yang diberikan diatas orang dapat melihat bahwa Sang Buddha menganggap kesejahteraan ekonomi perlu untuk mendapatkan kebahagiaan, tetapi beliau tidak menganggap kemajuan ini sebagai sesuatu yang benar kalau hanya didasarkan atas kebencian, keserakahan dengan mengabaikan dasar-dasar spiritual dan moral. Maka agama Buddha biarpun menganjurkan kemajuan materil, tetapi Dharma Buddha selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral dan spritual untuk menghasilkan satu masyarakat yang bahagia, aman dan sejahtera.
Dalam kehidupan politik, Sang Buddha juga mempunyai pengertian yang mendalam tentang politik, perang dan damai, Sang Buddha bukan saja mengajarkan tentang kehidupan tanpa kekerasan dan perdamaian. Dalam hal ini beliau mengajarkan kepada kaum Vajji, dimana dalam kedamaian dan kesejahteraan dapat ditempuh dengan tujuh syarat oleh karena itu pada suatu ketika Beliau sendiri pergi ke medan perang dan menjadi penengah untuk menghindari peperangan.
Tujuh syarat itu sebagai berikut :
Melaksanakan musyawarah untuk mufakat, musyawarah untuk damai,
Menghormati dan menjunjung tinggi para pemuka agama yang baik
Menghormati dan menghargai para sesepuh masyarakat (orang tua)
Menghormati dan menghargai kitab suci baik agama sendiri maupun agama lain
Menghargai dan menghormati tempat-tempat ibadah baik agama sendiri maupun tempat ibadah agama lain
Menghargai dan menghormati kaum lemah (kaum Wanita).
Membuat undang-undang baru dengan tidak meninggalkan undang-undang yang sudah ada sepanjang masih relevan.
Kemampuan para tokoh pemerintahan, politik dan pemimpin agama untuk dapat membawa ajaran agama demikian rupa kepada rakyat Indonesia, yang dapat menghasilkan Manusia Indonesia dengan komitmen yang tinggi kepada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terutama itu berlaku untuk para tokoh dan pimpinan umat beragama, dan seperti dikatakan Toynbee, kalau para tokoh dan pimpinan agama hanya melakukan apa yang telah dilakukannya dimasa lampau, maka tidak mungkin agama merupakan pembangkit martabat manusia Indonesia. Sebab telah terbukti oleh kenyataan sejarah, bahwa martabat manusia Indonesia dimasa lampau demikian rendahnya sehingga dapat dijajah.
Dalam Dhammapadda Atthakatha ditulis tentang pandangan Sang Buddha mengenai pemerintahan yang baik harus dilihat dari keadaan sosial, ekonomi dan politik. Beliau pada zaman itu dapat membuktikan bagaimana rakyat dari suatu negara akan tidak bahagia, rusak akhlaknya, kalau saja menteri dan pejabat pemerintah memberikan contoh korup dan tidak jujur. Rakyat dari suatu negara baru mendapatkan kebahagiaan, apabila raja dan pejabat pemerintahan jujur.
Dalam kitab Jataka dapat dibaca cara untuk mendapatkan pemerintahan yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajaran-Nya tentang “Sepuluh kewajiban seorang raja” (dasa-raja-dhamma).Tentu saja istilah raja sekarang dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum. Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sebagai berikut :
Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah)
Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat.
Sila (moralitas yang tinggi)
Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum-minuman keras.
Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)
Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.
Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-kali menipu rakyat.
Maddava (ramah tamah dan sopan santun)
Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun.
Tapa (sederhana dalam penghidupan)
Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan.
Akkodha (bebas dari kebencian, keinginan jahat dan sikap bermusuhan).
Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun juga.
Avihimsa (tanpa kekerasan).
Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hall yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup.
Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)
Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan-ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertiandan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.
Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)
Ini berarti ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi uisaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain. Ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.
Kalau suatu negara mempunyai raja yang berwatak seperti yang disebut diatas, maka tak usah diragukan lagi bahwa rakyatnya akan menjadi bahagia.
Dalam Parabhava Sutta Sang Buddha memberikan nasehat-nasehat mengenai 12 sebab-penderitaan sebagai berikut :
Orang yang mencintai Dharma akan sejahtera dan orang yang mengingkari dharma akan mengalami penderitaan.
Ia yang mencintai orang jahat dan menyenangi kejahatan serta tipu muslihat, tidak berbuat sesuatu yang menyenangkan orang baik.
Orang yang senang tidur, berfoya-foya, mudah tersinggung dan tidak bersemangat.
Orang yang dalam keadaan makmur, tetapi tidak menyokong ibu atau ayahnya yang telah tua dan lemah.
Ia yang dengan berbohong menipu seorang brahmana atau para orang suci lainnya.
Orang kaya yang berlimpah, namun hanya memakai untuk dirinya sendiri, tanpa membagikan kepada orang lain yang membutuhkannya.
Orang yang merasa sombong atas kekayaannya, keturunannya, sukunya bahkan merendahkan sanak saudaranya sendiri.
Ia yang menyerahkan diri pada wanita-wanita, minum-minuman keras, perjudian serta menghambur-hamburkan apa yang diperoleh dengan susah payah.
Orang yang tidak puas berhubungan dengan isterinya sendiri, berhubungan dengan wanita-wanita pelacur, serta terlihat bersama-sama dengan isteri orang lain.
Orang yang telah melewati masa mudanya, tetapi membawa pulang seorang wanita yang berpayudara seperti buah timbaru dan tidak dapat tidur karena merasa cemburu terhadap dia.
Ia yang memuliakan seorang wanita yang serakah, yang suka menghamburkan harta kekayaan, atau lelaki yang sejenis itu.
Ia yang memiliki sedikit kekayaan, tetapi mempunyai banyak keinginan.
Dalam Sigalovada-Sutta (Digha Nikaya 31) diceritakan bagaimana Sang Buddha menaruh penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka/upasika, keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Seorang anak muda bernama Sigala mempunyai kebiasaan untuk memuja dan menghormati 6 arah, yaitu : Timur, Selatan, Barat, Utara, Nadir (bawah) dan Zenith (atas) sebagai bakti dan penghormatan kepada pesan ayahnya yang diberikan pada saat hendak menginggal dunia. Sang Buddha memberitahukan orang muda itu bahwa dalam ajaran-Nya tentang Ariyassa Vinaya (tata tertib para Ariya), enam penjuru itu mempunyai arti sebagai berikut :
Timur berarti :
Orang Tua
Selatan berarti :
Guru
Barat berarti :
Istri dan Anak-anak
Utara berarti :
Sahabat, Sanak keluarga dan para Tetangga
Nadir berarti :
Pelayan, Buruh dan Pegawai
Zenith berarti :
Para brahmana dan pertapa lainnya.
“Orang harus memuja enam penjuru itu”, berkata Sang Buddha sambil memberikan tekanan khusus pada kata memuja (Namasseyya). Kalau orang memuja, tentu memuja sesuatu yang keramat, sesuatu yang ada harganya untuk dihormat dan dipuja. Enam kelompok orang-orang yang disebut diatas, dalam agama Buddha diperlakukan sebagai keramat, berharga untuk dihormati dan dipuja.
Tetapi, bagaimana orang harus memuja mereka? Sang Buddha bersabda bahwa orang hanya dapat memuja mereka dengan jalan melakukan kewajiban kita terhadap mereka. Kewajiban ini diterangkan dalam pembicaraan Beliau dengan Sigala.
Dengan cara pendekatan yang biasa dilakukan Buddhis, pertama kali Sang Buddha Mengajarkan Sigala dengan mengemukakan aspek negatif atau 14 hal yang harus dihindari, yaitu :
Empat cacat perilaku, yaitu : pembunuhan, pencurian, hubungan kelamin yang salah dan ucapan yang salah.
Empat dorongan melakukan kejahatan, yaitu : keinginan, kebencian, ketakutan dan kebodohan.
Enam saluran menghabiskan kekayaan, yaitu : minuman keras, judi, berkeluyuran dijalanan yang tidak pada waktunya, bergaul dengan wanita-wanita penghibur, teman yang jahat dan malas.
Setelah Sang Buddha mengajarkan dan mengemukakan sila dalam aspek negatif dan empat jenis teman yang sejati yang palsu, kemudian mengajarkan sila dalam aspek positif dalam bentuk melakukan kewajiban kita kepada orang lain dalam lingkungan masyarakat yang terdiri dari enam kelompok :
Orang tua (timur), Guru (selatan), Anak dan Istri (barat), Sahabat, Sanak keluarga dan para Tetangga (utara ), Pelayan atau Karyawan (bawah) dan Rohaniwan (atas). Masing-masing kelompok memiliki lima kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap kelompok lain dalam lingkungan hidupnya yang dilambangkan dengan enam arah mata angin. Dalam kitab agama Buddha berbahasa Mandarin terdapat penambahan kewajiban-kewajiban isteri dan pelayan terhadap kepala keluarga yang selaras dengan budaya cina.
Simbolisasi arah mata angin tersebut berasal dari kebudayaan India kuno. Kalau kita menghadap ketimur, tangan kanan berada diselatan (dakkhina), disebelah belakang adalah barat, tangan sebelah kiri berada diutara (uttara), dibawah kita adalah bawah (nadir), dan diatas kepala kita adalah zenith.Timur selalu dilambangkan sebagai pendahulu (pubba), seperti hari dimulai dengan terbitnya matahari dari Timur. Ayah dan ibu dipandang sebagai pendahulu, karena kehidupan dimulai setelah kelahiran dan kemudian dirawat oleh orang tua, sebaliknya barat berada dibelakang (pacchima), seperti matahari setelah lewat tengah hari berada dibarat, demikian pula anak dan istri mengikuti dari belakang.
Tangan kanan yang berada disebelah selatan melambangkan guru yang layak menerima pemberian (dakkhineyya). Perkataan Dakhina berarti ‘selatan’ dan juga berarti ‘kanan’. Tangan kiri yang berada disebelah utara melambangkan sahabat, sanak keluarga dan tetangga.Uttara berarti ‘mengatasi’. Dengan bantuan sahabat dan sanak keluarga serta tetangga seseorang akan dapat mengatasi kesulitan (utttarati).
Demikian juga dalam berusaha dan bekerja, seorang memerlukan bantuan pelayan dan karyawan, maka arah bawah kaki (nadir) melambangkan pelayan dan karyawan yang juga dihargai.Diperlukan pula bimbingan spiritual dari rohaniwan, maka arah atas kepala (zenith) melambangkan guru spritual yang dijunjungi tinggi diatas kepala.
Dalam Sigalovada Sutta terlihat bagaimana Sang Buddha sendiri menaruh perhatian dan penghargaan besar terhadap penghidupan para upasaka dan upasika, keluarga serta sahabat-sahabatnya . bilamana masing-masing kelompok dalam masyarakat menjalankan kewajibannya sebagaimana diajarkan oleh Sang Buddha, maka akan terdapat masyarakat yang aman,tenteram dan sejahtera.
Lebih jauh dalam Sigalovada Sutta terlihat bahwa Sang Buddha membahas jalan untuk kesejahteraan hingga terinci tentang bagaimana kepala keluarga harus menyimpan dan mengeluarkan uang. Sang Buddha memberitahukan kepada Sigala bahwa ia harus mengeluarkan seperempat dari penghasilannya untuk biaya sehari-hari, setengah bagian dimasukkan kedalam perusahaan sebagai tambahan modal kerja dan seperempat bagian lagi untuk pengeluaran yang tidak terduga, seperti sakit dan membantu orang yang memerlukan pertolongan.
Sebagai salah satu sutta yang keseluruhannya mengandung sila atau etika untuk dilaksanakan umat Buddha. Sigalovada Sutta sangat penting dalam sejarah agama Buddha. Sigalovada Sutta merupakan ajaran sila tahap pertama untuk mencapai kehidupan surga dan tahap selanjutnya untuk perkembangan spiritual atau tahap untuk mencapai penerangan sempurna.
Pada hakikatnya sila dalam Vagghapajja Sutta, Parabhava Sutta, dan Sigalovada Sutta adalah ajaran tentang sila yang dapat menimbulkan etika kerja atau etos kerja untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup masyarakat.
Pemahaman yang memadai tentang sila, etika dan moral dan bertekad melaksanakan sutta-sutta tersebut diatas akan membawa kemajuan dalam kehidupan sekarang dan akan datang, dapat mencegah tantangan dan ancaman dalam kehidupan di Era Globalisasi, kehidupan yang penuh materialistis, penuh konflik dan Sara, penuh ancaman disintegrasi Menyadari sila-sila tersebut diatas, seseorang umat hendaknya tidak melakukan perbuatan-perbuatan buruk yang merugikan dalam kehidupan sekarang dan yang akan datang baik bagi dirinya sendiri, bagi bangsanya maupun pada negaranya,